- oleh admindinkes10
- 04 September 2023 09:42:12
- 156 views

Peraturan Presiden RI No 39 Tahun 2019 tentang satu data nasional, yaitu kebijakan tata kelola data pemerintah untuk memudahkan akses dan berbagi antar Instansi Pusat dan Daerah melalui pemenuhan standar data, metadata, interoperabilitas data, dan menggunakan kode rcferensi dan data induk. Peraturan ini mendorong banyak Instansi pemerintah salah satunya instansi kesehatan untuk memulai mengembangkan sistem satu data kesehatan. Hal ini sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang diharapkan mampu meningkatkan efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas. Informasi yang berkualitas diperoleh dari pengumpulan data yang baik, dan menjadi acuan dalam proses manajemen, perencanaan dan pengambilan keputusan. Namun hingga saat ini, sistem informasi kesehatan yang ada belum mampu menyediakan data dan informasi yang akurat dan cepat.
Undang-undang Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan pasal 345, untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan efisien diperlukan informasi kesehatan. Informasi yang berkualitas diperoleh dari pengumpulan data yang baik, dan menjadi acuan dalam proses manajemen, perencanaan dan pengambilan keputusan. Namun hingga saat ini, sistem informasi kesehatan yang ada belum mampu menyediakan data dan informasi yang akurat dan cepat (Prihantoro, 2021). Hal ini dikarenakan masih terdapat permasalahan dalam penyelenggaraan sistem informasi kesehatan, seperti lemahnya governance, fragmentasi sistem informasi, dan lemahnya manajemen data dan sistem penunjang pengambilan keputusan .
Fragmentasi sistem informasi ditunjukkan dengan banyaknya aplikasi yang digunakan sebagai alat pengumpulan data dan penyajian informasi. Proses integrasi data pelayanan kesehatan yang lebih sederhana, nyatanya memiliki banyak tantangan. Banyaknya aplikasi kesehatan yang terbangun oleh pemerintah pusat, daerah, maupun pihak swasta menjadi tantangan dalam menuju integrasi sistem data kesehatan (Hanifah et al., 2022). Aplikasi yang seharusnya memudahkan dan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan justru menimbulkan masalah baru, seperti tersebarnya data di berbagai aplikasi yang ada dan memiliki standar yang berbeda-beda sehingga tidak mudah diintegrasikan dan kurang bisa dimanfaatkan. Berdasarkan hasil pemetaan saat ini terdapat lebih dari 100 aplikasi kesehatan dibangun atau dikembangkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Jumlah tersebut dapat bertambah banyak jika ditambahkan dengan aplikasi- aplikasi spesifik, baik yang dibuat oleh pihak ketiga maupun yang dibuat oleh institusi kesehatannya itu sendiri. Masalah digitalisasi kesehatan yang lainnya terjadi ketika ditemukannya banyak data kesehatan yang masih terdokumentasi secara manual.
Menanggapi permasalahan fragmentasi data dan untuk mengintegrasikan berbagai aplikasi informasi kesehatan, Dinas Kesehatan mengadopsi DHIS2. DHIS2 merupakan software gratis yang dikembangka University of Oslo (UIO) yang bersifat open source dengan menggunakan pendekatan data warehouse dengan data berbagai sumber. DHIS2 menyediakan berbagai fitur untuk manajemen data, validasi, analisis, dan visualisasi data kesehatan. DHIS2 mampu mengintegrasikan berbagai sumber data potensial untuk berbagai program kesehatan, dengan berbagai metode pencatatan dan pelaporan, baik berbasis web, file Microsoft Excel, maupun kertas. Selain itu, data dapat diakses dengan lebih mudah, mencakup semua kebutuhan indikator kesehatan, serta dapat dipantau dan dianalisis hingga ke tingkat komunitas atau Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS). DHIS2 mendukung aliran data kesehatan baik secara vertikal maupun horizontal, sehingga memfasilitasi skalabilitas dan keberlanjutan sistem